Garis Takdir: Kisah di Rumah Sakit

 

Garis Takdir: Kisah di Rumah Sakit

 


 

Detik-Detik Penantian

 

Udara dingin pendingin ruangan di Rumah Sakit Harapan Bunda selalu membawa aroma antiseptik yang khas, campuran antara harapan dan kecemasan. Di ruang tunggu bangsal bedah, waktu terasa berjalan merangkak. Di sana, duduklah Bapak Heru, seorang pria paruh baya dengan raut wajah tegang yang tak bisa disembunyikan. Matanya terus terpaku pada pintu ganda bercat putih di ujung koridor. Di balik pintu itu, istrinya, Ibu Lastri, sedang berjuang menjalani operasi besar.

Sejak subuh tadi, rumah sakit ini menjadi saksi bisu bagi pertarungan keluarga Heru. Diagnosa yang mengejutkan sebulan lalu telah mengubah segalanya, memaksa mereka menerima kenyataan pahit dan kini, menyerahkan segalanya pada kepiawaian tim dokter. Di sampingnya, duduklah Mira, putri tunggal mereka, yang berusaha tampak tegar meski air mata sesekali menggenang di pelupuk matanya. Ia menggenggam erat tangan ayahnya, mencoba menyalurkan kekuatan yang ia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.


 

Pertemuan di Lorong Sunyi

 

Saat Bapak Heru bangkit untuk mencari secangkir kopi hangat, ia berpapasan dengan seorang https://www.lekhahospitalpune.com/  perawat yang baru saja menyelesaikan shift malamnya. Perawat itu bernama Rina. Wajahnya tampak lelah namun senyumnya tetap ramah. Mereka berdua sempat bertukar pandang sekilas di lorong yang sepi.

“Semoga semuanya lancar, Pak,” ujar Rina pelan, menyadari tatapan cemas Bapak Heru.

“Terima kasih, Nak,” jawab Bapak Heru dengan suara serak. “Istri saya sedang dioperasi. Kami hanya bisa menunggu.”

Rina mengangguk. Ia telah melihat ratusan kisah di rumah sakit ini; kisah tentang hidup, mati, dan garis takdir yang tak terduga. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata Bapak Heru yang terasa familiar baginya.


 

Benang Merah Masa Lalu

 

Beberapa jam kemudian, operasi Ibu Lastri selesai. Dokter keluar dengan wajah lelah, namun membawa kabar baik. Operasi berjalan sukses. Bapak Heru dan Mira langsung bersujud syukur. Saat Bapak Heru mengurus administrasi di meja perawat, ia bertemu lagi dengan Rina yang sedang bertugas di administrasi rawat inap.

“Pak Heru?” tanya Rina, membaca nama di berkas. “Saya senang mendengar kabar baik tentang Ibu.”

“Ya, alhamdulillah, Nak. Berkat doa semua orang,” balas Bapak Heru.

Tiba-tiba, mata Rina tertuju pada liontin yang dikenakan Bapak Heru. Itu adalah liontin perak berbentuk inisial ‘L’ yang sudah usang.

“Maaf, Pak. Apakah ini peninggalan dari… Panti Asuhan Kasih Ibu?” tanya Rina, suaranya sedikit bergetar.

Bapak Heru terkejut. “Ya, Nak. Saya dibesarkan di sana. Hanya ini yang saya punya dari masa kecil saya.”


 

Ikatan yang Terungkap

 

Rina tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Saya juga, Pak. Saya salah satu anak yang Bapak bantu biayai sekolahnya bertahun-tahun lalu. Saya ingat Bapak sering datang membawa donasi, meski Bapak tidak mau bertemu kami.”

Bapak Heru terdiam, kaget dan terharu. Ia memang rutin mendonasikan sebagian rezekinya untuk panti asuhan, tempat ia tumbuh, sebagai wujud syukur atas rezeki yang ia peroleh. Ia tak pernah tahu siapa anak-anak yang ia bantu.

“Kamu… kamu Rina?” tanya Bapak Heru, mencoba mengingat wajah anak kecil yang dulu hanya ia lihat fotonya.

Rina mengangguk, air mata kebahagiaan akhirnya tumpah. “Ya, Pak. Saya Rina. Kini saya perawat. Saya yang akan merawat Ibu Lastri di ruang pemulihan.”

Di tengah hiruk-pikuk rumah sakit, di ambang pintu kesembuhan Ibu Lastri, sebuah garis takdir yang terjalin sejak lama akhirnya terungkap. Kebaikan yang ditanam oleh Bapak Heru bertahun-tahun lalu kembali padanya dalam bentuk perawatan dan kasih sayang terbaik untuk istrinya. Rumah sakit itu bukan lagi hanya tempat pertarungan melawan penyakit, melainkan tempat di mana benang-benang takdir saling bertemu, membuktikan bahwa setiap perbuatan baik akan menemukan jalannya kembali.